Selama masa perkuliahan, beliau aktif berorganisasi dan menjadi bagian dari Jong Java, Indonesia Muda, dan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Setelah berpraktik sebagai dokter, Moewardi memperdalam ilmu pengetahuannya di bidang telinga, hidung, dan tenggorok (THT) di Geneeskundig Hooge School (GHS) di Salemba, dan dinyatakan lulus menjadi dokter spesialis pada tahun 1939.
Di kalangan pemuda pemimpin pergerakan pada saat itu, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan salah satu rencana yang sangat marak didukung oleh masyarakat. Untuk menjalankan tujuan tersebut, dibentuklah Barisan Pelopor yang terdiri dari sekelompok pemuda yang bertujuan untuk mengamankan pemimpin perjuangan. Moewardi ditunjuk menjadi pemimpin Barisan Pelopor untuk seluruh Jawa, dan bertugas mengamankan para pemimpin perjuangan dan lokasi pembacaan teks proklamasi dari ancaman kerusuhan. Sesudah pembacaan teks proklamasi, Moewardi juga membentuk Barisan Pelopor Istimewa untuk mengawal Presiden Soekarno.
Walaupun disibukkan dengan aktivitasnya dalam organisasi keamanan, Moewardi tidak lupa pada tugasnya sebagai seorang dokter. Hal inilah yang menjadi latar belakang penolakan beliau saat diusulkan sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Presiden Soekarno. Pada tahun 1946, akibat memanasnya situasi politik dan keamanan di Jakarta, Barisan Pelopor berubah nama menjadi Barisan Banteng dan dipindahkan ke Solo.
Moewardi selalu berjuang dan mendampingi serta mengobati tentara yang terluka pada setiap pertempuran. Bahkan, di tengah kesibukannya sebagai seorang pemimpin dan dokter, beliau menyempatkan untuk mendirikan sekolah kedokteran di Solo. Dalam usahanya melawan aksi antipemerintah yang dijalankan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Moewardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada tahun 1948. Namun, pada 13 Agustus 1948, Moewardi diculik saat menjalani praktik sebagai dokter di Rumah Sakit Jebres, Solo, dan hilang secara misterius.
Sebagai tanda jasa pada negara, Moewardi mendapatkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tahun 1964. Nama beliau juga diabadikan sebagai nama rumah sakit yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi di Solo, Jawa Tengah. Selain itu beberapa nama jalan di beberapa kota termasuk Jakarta, Denpasar, Solo, Cianjur, dan Blitar juga menggunakan nama beliau .
Kontribusi Dr. Moewardi kepada bangsa Indonesia tidak hanya sebatas dunia medis dan pelayanan kesehatan, namun juga sebagai seorang pahlawan proklamasi. Beliau merupakan teladan bagi dokter dan masyarakat Indonesia untuk selalu berbuat lebih baik dalam membangun bangsa. Semoga perjuangannya akan terus menjadi inspirasi bagi dokter-dokter Indonesia.
Dirgahayu Republik Indonesia!
original artikel: klikdokter.com
Demikian mengenai Sosok Dokter di Balik Pembaca Teks Proklamasi, semoga postingan kali ini bisa bermanfaat buat kalian semuanya.
Disclaimer: Blog Dr OZ Indonesia tidak menjamin hasil tertentu sebagai hasil dari prosedur yang disebutkan di sini dan hasilnya dapat bervariasi dari orang ke orang. Topik di halaman ini termasuk teks, grafik, video dan bahan lain yang terkandung di situs ini adalah untuk tujuan informasi saja dan tidak harus diganti untuk saran medis profesional.
0 Response to "Sosok Dokter di Balik Pembacaan Teks Proklamasi"
Posting Komentar